2.11.13

Banda Aceh : A Story of Recovery

Musim Citra Pariwara sudah dimulai, berarti ini saat yang tepat buat (akhirnya) nulis post tentang Aceh, yeaaah. Kenapa kenapa? karena di tahun 2013 yang gak kerasa tinggal dua bulan lagi ini, saya punya kesempatan ngunjungin Aceh dua kali dan gratis pula, yang pertama karena Citra Pariwara taun lalu, oh beruntungnya diajak :-D Ucapan terimakasihnya udah dilakuin semenjak post traveling sebelumnya hehehe. Dan kunjungan lainnya dalam rangka outing kantor. Hore! Oh iya, kedua kunjungan itu terjadi di bulan April dan Mei. I had such an amazing 8 days in Aceh with new and good friends plus a super happy birthday for me! UNDER THE SEA!

Okay dear work, I quit.

Tapi boong, ahhahahaah!

Taun lalu emang udah niat sebelumnya pingin ke Sabang dalam rangka ngerayain ulangtaun. Karena di sekitaran tgl 8-12 Mei taun 2013 ini emang ada long weekend, lucu kali ya ambil cuti sehari trus seminggu les diving di sana. Hampir aja beli tiket promo Garuda, yang sekali-kalinya tuh nemu harga promo 900ribu bolak-balik. Tapi gak jadi karena lupa entahlah kenapa, eh tapi ternyata itu keputusan yang tepat, yess.

Jarak terbang Jakarta-Banda Aceh 2,5 jam dan transit setengah jam di Medan

Berhubung ada 2 kunjungan dengan 2 itinerary yang berbeda, jadi saya gak bakal cerita berdasarkan urutan waktu. Cerita yang dishare di sini adalah highlight dari tempat-tempat yang saya kunjungin dan bakal dibagi jadi 2 post karena panjang beneeeerrr...


Banda Aceh

Kayaknya belum ada yang bisa lupa dengan kejadian tanggal 26 Desember 2004 ketika gempa bumi 9,3 SR yang diikuti tsunami menghantam sebagian besar wilayah Banda Aceh. Kurang lebih 200ribu orang meninggal dunia karena tragedi itu. Dari kunjungan waktu itu bisa keliatan kalo Banda Aceh masih berjuang dalam ngebangun kotanya walo kejadian itu udah 9 taun berlalu. Tapi saya cukup punya kesan sama kota yang tenang, hijau dan bersih ini. Apalagi makanannya, hmmm :-9 !!! Sebelum berangkat, saya dapet email yang isinya tentang tata cara berpakaian untuk perempuan selama di Banda Aceh. Ini terkait sama hukum Syariah yang berlaku cuma di Aceh, mungkin ini juga ya salah satu penyebab kenapa Aceh dapet gelar Daerah Istimewa. Walo udara di Aceh cenderung panas, saya ok aja dengan hukum adat yang berlaku, yang mengharuskan saya pake atasan dan bawahan panjang, plus jaga-jaga bawa penutup kepala. Gak setiap hari juga bisa ngunjungin tempat itu, jadi ga ada salahnya buat respek dengan aturan, ya kan? Triknya adalah pake pakaian yang bahannya dingin tapi nyerep keringet.

Nunggu 'sunset selamat datang' di Pantai Lampuuk
Selama di Aceh, saya dan rombongan tinggal di The Pade Resort dan dijamu dengan ramahnya oleh Mas Igor dan Mbak Maya beserta staf. Obyek wisata yang 'dijual' Banda Aceh cukup beragam, mulai dari wisata alam, religi, kuliner, sampe tragedi tsunami itu sendiri.  Dan yang saya simpulin dari pembagian trip waktu itu, wisata alam bakal dipuas-puasin di Sabang. Jadi selama di Banda Aceh, wisatanya lebih cenderung depresi yang ditutup dengan makan-makan enak :-p



The Pade Resort, Banda Aceh

Sebelum mulai ke 'wisata tsunami', saya ceritain sedikit tentang Museum Cut Nyak Dhien. Museum ini adalah replika dari rumah asli Cut Nyak Dhien sebelum dibakar oleh tentara Belanda pada saat Perang Aceh di akhir abad 19. Satu-satunya yang masih asli dari rumah itu sebelum akhirnya dibangun kembali buat jadi museum adalah pondasinya. Bentuk arsitekturnya khas bangunan Aceh, semacem rumah panggung dari kayu dengan ukiran di beberapa bagian dindingnya. Di dalemnya berisi benda-benda peninggalan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, dan juga ada foto-foto yang ngejelasin sejarah perjuangan beliau dalam mempertahankan RI. Museum berlokasi di sebuah pedesaan dengan hamparan sawah yang hijau. Bagus deh! Dan hebatnya gak ada pungutan biaya, cuma buat yang mau nyumbang untuk perawatan dan kebersihan ya dipersilahkan.

Foto Cut Nyak Dhien (1848-1908) yang berada di seuramo keu atau serambi muka
Kamarnya Cut Nyak Dien
Sebelum terbakar, rumah ini pertama kali dibangun pada tahun 1893
Tur Tsunami


Okay, then I did a bit of 'tsunami-tourism', depressing as it was. Dimulai dengan kunjungan ke Museum Tsunami Aceh yang arsitekturnya adalah Kang Ridwan Kamil, walikota kota Bandung sekarang :-) Fungsi museum ini selain sebagai sarana edukasi untuk mengenang tragedi tsunami juga sebagai posko darurat kalo ada tsunami lagi di kota Banda Aceh. Setelah ngelewatin pintu utama, pengunjung bakal masuk ke sebuah lorong gelap dan cukup panjang yang diapit 2 dinding tinggi berair. Selain itu, di sepanjang lorong ini juga dipasang ambiens suara ombak. Lorong ini semacem refleksi dari perasaan ketika tsunami terjadi dan menurut saya bagian opening itu yang paling menarik dari keseluruhan tur museum. Berikutnya pengunjung bakal naik sebuah jembatan menuju lantai 2 yang di bawahnya ada kolam air berwarna merah yang dikelilingin batu-batu raksasa. Di batu-batu ini dipahat nama-nama negara yang ngebantu Indonesia ketika tsunami 2004. Di langit-langit museum juga dipasang bendera dari negara-negara tersebut. Bangunannya menarik banget! Cuma ya itu, ambiensnya kurang dibangun untuk ngedukung isi museum. Contohnya, foto-foto yang dipajang beresolusi rendah, jadinya pecah semua. Museum ini bakal tambah keren kalo masing-masing pengunjung dapet audio guide kali ya. Jadi semua bisa fokus dengan informasi yang ditawarin museum dan gak ribut sendiri. HTMnya emang murah sih, seinget saya cuma 7ribu rupiah. Tapi dimahalin dikit pun gak apa-apa kok demi terfasilitasinya pengalaman pengunjung. Mengingat the Killing Fields di Kamboja aja bisa sukses bikin hampir semua pengunjunganya ngerasa terhubung dengan tragedi Khmer Merah, seharusnya kita juga bisa sih.

Maket Museum Tsunami Aceh
Jembatan di dalam museum penghubung lantai 1 dan 2
Nama-nama korban tsunami 2004 di Aceh
Jam yang nunjukkin waktu kejadian
Kapal di Atas Rumah di dekat Tempat Pelelangan Ikan Lampulo jadi situs yang nandain ganasnya gelombang tsunami. Kapal ini adalah kapal ikan yang terseret hingga akhirnya nyangkut di atas sebuah rumah
PLTD Apung yang didatangkan dari Kalimantan pada tahun 2003 dengan berat 2600 ton inipun terseret gelombang tsunami hingga 5km jauhnya dari tengah laut sampe akhirnya terdampar di tengah pemukiman Punge Blang Cut
 Sedikit cerita tentang seorang guide cewek di PLTD Apung. Sambil mengantar saya dan rombongan berkeliling, dia menceritakan tentang kejadian tanggal 26 Desember 2004. "Waktu itu saya kuliah di Lhokseumawe, kondisi di sana cenderung aman. Tapi saya gak tenang karena hampir semua keluarga saya tinggal di Banda Aceh dan hingga 4 hari berikutnya saya bener-bener gak bisa ngehubungin mereka. Jenazah ayah, nenek dan adik saya baru dievakuasi sebulan kemudian." Lalu dia nunjukkin sebuah foto yang ngegambarin semua bangunan yang udah rata sama tanah di galeri PLTD Apung, "Ini, daerah ini kampung saya, mbak". Saya cuma bisa diem.

 
Masjid Raya Baiturrahman

The most stunning sight dari Banda Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman. Masjid ini jadi salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami, berdiri kokoh sampe sekarang. Ngeliat foto yang ngegambarin apa yang tersisa di sekitar masjid ketika hari tsunami terjadi, gak heran banyak orang yang nganggep itu sebagai campur tangan Tuhan. Tapi ada campur tangan Tuhan ato enggak, bangunan masjid ini emang indah dan agung. Sebagai simbol kota Banda Aceh, rugi kalo gak nyempetin berkunjung ke masjid ini. Central market terletak persis di samping masjid, lumayan juga buat dijelajahin buat nyicip kopi dan jajanan khas Aceh ato belanja emas. Banyak banget toko emas di pasar ini. Oh iya, diwajibkan buat pake penutup kepala bagi yang perempuan di sekitaran masjid. Kalo enggak, bisa diteriakin pake toa kayak saya hehehe.

Suasana masjid ketika tsunami terjadi
Dengan angle yang sama, masjid di malam hari yang indah penuh lampu
Suasana di sekitar masjid
Masjid siang hari
Menara azan
Interior bangunan yang megah

Media agak berlebihan ketika ngeberitain tentang Polisi Syariah ber-AK-47 yang katanya selalu patroli di seluruh penjuru kota. Selama di sana, saya hampir gak ngeliat mereka kecuali di sekitaran Masjid Baiturrahman dan gak liat senjata juga. Gak perlu tegang juga sih kalo ngeliat mereka. Aturan yang ketat itu cuma buat warga setempat. Kalo seandainya kita sebagai turis kelupaan, paling cuma diingetin. Mereka akan tanya dulu darimana kita berasal. Banyak kesalahpahaman tentang aturan Syariah ini yang bikin orang-orang jadi takut berkunjung ke Aceh. Mereka yang lebih paham akan aturannya, jadi kita sebagai tamu ya udah seharusnya ngikutin aja. Orang-orang Aceh itu pada umumnya ramah dan ngehargain tamunya, sebagaimana Islam ngajarin umatnya :-) Dan mereka juga orang-orang yang tangguh, yang masih bisa berbagi cerita dengan senyuman di wajah padahal yang diceritain tentang tragedi yang ngerenggut setengah dari anggota keluarganya.

Kuliner Aceh

Setelah makanan Sunda, yang paling saya suka adalah makanan Aceh! Beruntunglah Seulawah deket banget sama kosan saya di Jakarta huehehe, lebih beruntung lagi bisa makan makanan Aceh langsung di sana. Ah makanan Aceh itu... *ngiler.
Liat aja fotonya deh! 

Sanger, minuman yang cuma ada di Aceh ini terbuat dari kopi dan susu. Tapi bedanya ada di rasa kopinya, yang cuma Aceh yang punya kopi seenak ini di Indonesia
Ayam Tangkap bisa ditemuin dimana-mana di Aceh, tapi yang terkenal enak itu berlokasi di dekat bandara
Mie Aceh Razali
Selain yang di atas ini, saya juga suka dodolnya :-p hihihi If you know what I mean.

Aceh was so special. Makanannya, orang-orangnya, pemandangannya... Belum lengkap tanpa cerita tentang Sabang yang bakal dilanjut di post selanjutnya yaa :-) Adios!

1 comment: